Mengupas Budaya Flexing: Antara Inspirasi dan Jebakan Ilusi di Media Sosial
Pernahkah Anda membuka Instagram atau TikTok dan langsung disambut dengan video seseorang yang memamerkan jam tangan mewah, mobil sport terbaru, atau tumpukan uang? Fenomena yang dikenal dengan istilah "flexing" ini seakan sudah menjadi pemandangan sehari-hari di linimasa kita.
Tapi, apa sebenarnya budaya flexing itu? Apakah sekadar pamer kekayaan untuk mendapatkan pujian, atau ada makna yang lebih dalam di baliknya? Mari kita kupas tuntas fenomena yang sedang viral ini, dari penyebab hingga dampaknya bagi kesehatan mental kita.
Apa Itu Budaya Flexing?
Secara sederhana, flexing adalah tindakan memamerkan atau menyombongkan apa yang dimiliki, baik itu kekayaan, barang mewah, pencapaian, atau gaya hidup yang dianggap "wah". Istilah ini berasal dari bahasa Inggris gaul yang artinya "melenturkan otot", sebagai kiasan untuk menunjukkan kekuatan atau kehebatan.
Di era digital, flexing tidak lagi sebatas memamerkan otot di gym. Arena pamerannya telah berpindah ke media sosial, di mana "otot" yang dilenturkan adalah saldo rekening, merek pakaian, destinasi liburan, dan segala simbol kemewahan lainnya.
Mengapa Flexing Begitu Menjamur? Psikologi di Baliknya
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa orang merasa perlu melakukan flexing? Ada beberapa alasan psikologis yang mendasarinya:
Dua Sisi Mata Uang: Dampak Positif dan Negatif Flexing
Seperti koin, budaya flexing memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan.
Sisi Positif (jika disikapi dengan bijak):
- Motivasi dan Inspirasi: Bagi sebagian orang, melihat kesuksesan orang lain bisa menjadi pelecut semangat untuk bekerja lebih keras dan meraih impian.
- Sumber Informasi: Terkadang, konten flexing bisa memberikan informasi tentang investasi, peluang bisnis, atau cara mengelola keuangan (meskipun perlu disaring kebenarannya).
Sisi Negatif (yang lebih sering terjadi):
- Memicu Masalah Kesehatan Mental: Paparan terus-menerus terhadap konten flexing dapat menimbulkan perasaan iri, cemas, depresi, dan menurunkan rasa percaya diri karena terus membandingkan hidup sendiri dengan "standar" di media sosial.
- Menciptakan Standar Hidup Palsu: Ingat, apa yang ditampilkan di media sosial adalah highlight reel (cuplikan terbaik), bukan kenyataan seutuhnya. Ini bisa menciptakan tekanan untuk hidup di luar kemampuan finansial.
- Mendorong Perilaku Konsumtif dan Utang: Demi terlihat "wah", tidak sedikit orang yang rela berutang atau membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan, hanya untuk konten.
- Rawan Penipuan: Banyak kasus penipuan berkedok "flexing", di mana pelaku memamerkan kekayaan hasil kejahatan (seperti investasi bodong atau judi online) untuk menjerat korban baru.
Bagaimana Seharusnya Kita Bersikap? Menjadi Pengguna Medsos yang Cerdas
Budaya flexing tidak akan hilang dalam waktu dekat. Oleh karena itu, kitalah yang harus cerdas dalam menyikapinya.
- Ingat, Itu Hanyalah Panggung: Sadari bahwa media sosial adalah panggung sandiwara. Apa yang Anda lihat adalah versi terbaik dari kehidupan seseorang yang telah dikurasi dengan cermat.
- Fokus pada Perjalanan Sendiri: Berhentilah membandingkan "bab 1" dalam hidup Anda dengan "bab 20" dalam hidup orang lain. Setiap orang punya garis waktu dan perjuangannya masing-masing.
- Praktikkan Rasa Syukur (Gratitude): Alih-alih fokus pada apa yang tidak Anda miliki, cobalah untuk lebih sering mensyukuri apa yang sudah ada dalam hidup Anda saat ini.
- Lakukan Digital Detox: Jika Anda merasa konten di linimasa mulai membuat Anda cemas atau tidak nyaman, jangan ragu untuk beristirahat sejenak dari media sosial. Unfollow akun-akun yang memberikan dampak negatif.
Kesimpulan
Budaya flexing adalah fenomena kompleks yang mencerminkan keinginan dasar manusia akan pengakuan dan status. Meskipun bisa menjadi sumber inspirasi, ia lebih sering menjadi jebakan ilusi yang dapat merusak kesehatan mental dan finansial.
Kunci utamanya ada pada diri kita sendiri. Dengan menjadi pengguna media sosial yang lebih sadar dan kritis, kita bisa mengambil inspirasinya tanpa harus terjebak dalam ilusinya.
Bagaimana pendapat Anda tentang budaya flexing? Apakah Anda melihatnya sebagai motivasi atau justru racun di media sosial? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!
0 Comments